TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ), Riza Damanik menduga
tahun 2014 mendatang keadaan ekonomi Indonesia bisa jadi akan sangat
memprihatinkan. Bisa jadi krisis tersebut terasa lebih menyakitkan ketimbang
krisis 1998 lalu. Dalam acara "Refleksi 2013 dan Proyeksi 2014" di
kantor IGJ, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (24/12/2013) Riza mengatakan
proyeksi perekonomian Indonesia tahun depan bisa dinilai dari permasalahan
subsidi energi yang tidak kunjung tuntas. Tahun depan dianggarkan subsidi
energi sebesar Rp 282,1 triliun, dan hal itu merupakan alokasi terbesar Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).
Padahal Indonesia masih mempunyai utang yang
pada Oktober lalu tercatat masih Rp 915,175 triliun, dan posisi utang luar
negri pemerintah mencapai USD 123,212, yang seluruhnya harus dibayar dengan
dolar. Di tengah-tengah usaha Indonesia membayar cicilan utang dan bunganya,
nilai tukar dolar AS terhadap rupiah kembali meroket, bahkan hingga menyentuh
angka Rp 12.000. Keadaan itu membuat utang Indonesia membengkak menjadi
sekitar Rp.1.478,544 triliun utang luar negri dan Rp.915,175 triliun utang
dalam negeri. Total utang Indonesia mencapai Rp.2.393,719 triliun.
"Hal paling membahayakan adalah negara semakin tenggelam dalam
cengkraman bangsa lain karena masalah utang," katanya.
Sepanjang tahun 2013 masyarakat juga disuguhkan
dengan defisit perdagangan. Sepanjang Januari-Oktober 2013 tercatat defisit
perdagangan mencapai 6,36 miliar USD, dan sebagian besar disebabkan oleh impor
migas. "Selama orde baru itu tidak ada defisit, termasuk tahun 1998. Jadi
bisa jadi krisis nanti itu akan lebih parah," ujarnya. Di tengah-tengah
krisis tersebut, Indonesia terus meratifikasi berbagai kesepakatan untuk
meliberalisasi diri.
Terakhir adalah kesepakatan World Trade
Organization (WTO) yang mengharuskan Indonesia memangkas kepabeanan impor
pangan. Padahal petani selama ini bisa disebut kurang disubsidi, sehingga bukan
tidak mungkin produk-produk impor tersebut nantinya akan membuat petani lokal
"babak-belur," dan mengancam kedaulatan pangan Indonesia.
Riza mengatakan rezim yang akan memimpin
Indonesia mulai tahun 2014 harus memiliki komitmen tinggi untuk memperkuat
kedaulatan ekonomi nasional Indonesia. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan
evaluasi terhadap perjanjian perdagangan dan inverstasi internasionl. "Termasuk
mengambil langkah dalam pembatalan terhadap perjanjian yang memberi implikasi
buruh terhadap ekonomi Indonesia," tutur Riza. "Rezim baru juga harus
mendukung peningkatan produktivitas pangan nasional dengan dukungan politik
anggaran yang por terhadap pertanian, perikanan dan usaha kecil menengah,"
ujar Riza.
Analisa Kasus:
Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) memperkirakan
perekonomian Indonesia pada tahun 2014 semakin kurang membaik bahkan lebih dari
krisis moneter pada tahun 1998. Proyeksi perekonomian Indonesia tahun depan dapat
dinilai dari permasalahan subsidi energi yang tidak kunjung selesai. Tahun
depan dianggarkan subsidi energi sebesar Rp 282,1 triliun, dan hal itu
merupakan alokasi terbesar Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).
Indonesia juga tercatat masih mempunyai hutang pada bulan Oktober
lalu kepada luar negeri sebesar Rp 915,175 triliun, dan posisi utang luar negeri
pemerintah mencapai USD 123,212 dan seluruhnya harus dibayarkan dengan dolar.
Pada saat Indonesia sedang membayar utang dan bunganya kepada luar negeri, mata
uang dollar semakin meningkat bahkan sampai menyentuh Rp12.000.
Hal ini membuat hutang Indonesia semakin bertambah hingga mencapai
sekitar Rp.1.478,544 triliun utang luar negeri dan Rp.915,175 triliun utang
dalam negeri. Total utang Indonesia mencapai Rp.2.393,719 triliun. Keadaan ini
membuat Indonesia terjatuh kedalam cengkraman negeri lain.
Selama tahun 2013 Indonesia menghadapi defisit perdagangan. Defisit
itu dihadapai selama tahun Januari sampai Oktober dan sekitar 6,36 miliar USD,
dan sebagian besar disebabkan oleh impor migas. Selama orde baru Indonesia
tidak pernah mengalami deficit termasuk pada tahun 1998. Di tengah krisis ini, Indonesia
terus meratifikasi berbagai kesepakatan untuk meliberalisasi diri.
Terakhir adalah kesepakatan World Trade Organization (WTO) yang
mengharuskan Indonesia memangkas kepabeanan impor pangan. Padahal petani selama
ini bisa disebut kurang disubsidi, sehingga bukan tidak mungkin produk-produk
impor tersebut nantinya akan membuat petani lokal "babak-belur," dan
mengancam kedaulatan pangan Indonesia.
Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) juga menyebutkan rezim
yang akan memimpin Indonesia mulai tahun 2014 harus memiliki komitmen tinggi
untuk memperkuat kedaulatan ekonomi nasional Indonesia. Hal itu dapat dilakukan
dengan mengevaluasi perjanjian perdagangan dan investasi internasionl. Termasuk
mengambil langkah dalam pembatalan terhadap perjanjian yang memberi implikasi
buruh terhadap ekonomi Indonesia. Rezim baru juga harus mendukung peningkatan
produktivitas pangan nasional dengan dukungan politik anggaran yang por
terhadap pertanian, perikanan dan usaha kecil menengah