Selasa, 11 November 2014

permasalahan transportasi udara di Indonesia

Merdeka.com - Geliat industri penerbangan kekinian sudah sangat pesat. Pasalnya, moda transportasi udara sudah bukan lagi angkutan mewah karena semua kalangan sudah bisa menjangkaunya. Implikasinya tentu kebutuhan akan jasa penerbangan ini semakin tinggi. Belum lagi, pada tahun depan, Indonesia bersiap menyambut pasar bebas ASEAN (MEA).

Tercatat pertumbuhan penumpang angkutan udara di Indonesia secara rata-rata dari 2009 hingga 2012 sebesar 18,31 persen. Pada 2013 lalu, penerbangan Indonesia telah mengangkut lebih dari 85 juta penumpang ke berbagai daerah. Maka dari itu, pemerintah didorong peran aktifnya dalam mendukung industri yang tengah seksi ini.

Pelaku industri penerbangan sendiri mendesak pemerintah segera berbenah. Desakan datang salah satunya maskapai penerbangan anak usaha Garuda Indonesia, Citilink. Maskapai penerbangan murah tersebut berharap pemerintah dapat menciptakan iklim usaha yang nyaman untuk berkompetisi di Tanah Air. Direktur Utama Citilink, Arief Wibowo, menilai pengembangan industri penerbangan nasional masih terkendala sejumlah masalah. Dia mencontohkan permasalahan itu ialah biaya bahan bakar pesawat di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara di ASEAN. 

Tahun lalu, lanjutnya, harga avtur di Singapura tercatat USD 71 sen per liter. Sementara, di Jakarta harganya sekitar USD 78 sen per liter. Bahkan, di Papua bisa mencapai USD 103 sen per liter. "Itu sesuatu yang membebani kita dalam rangka open sky," ujarnya. Permasalahan kedua ialah beban bea masuk komponen pesawat. Belum masifnya produksi komponen pesawat lokal membuat produk impor sangat dibutuhkan. Permasalahan lainnya ialah keterbatasan infrastruktur. "Infrastruktur itu harus ada peran pemerintah di sana," tuturnya.

Pemerintah sendiri melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya mengonversi avtur menjadi bahan bakar bersumber nabati atau bioavtur. Bahan bakar ini dinilai lebih murah. Saat ini Indonesia memiliki potensi bahan bakar nabati terbesar kedua setelah Brasil. Pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar minyak akan dapat mengurangi konsumsi energi fosil, meningkatkan ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Sejauh ini pemerintah menargetkan dapat menggunakan bioavtur pada 2016 yakni sebesar 2 persen dari total kebutuhan avtur PT Pertamina.

Sementara, terkait masalah infrastruktur, Plt Direktur Jenderal Perhubungan Udara Santoso Eddy Wibowo mengatakan pemerintah menganggarkan dana sekitar Rp 9 triliun untuk pengembangan industri penerbangan tahun depan. Anggaran tersebut rencananya akan dialokasikan untuk pengembangan bandar udara dan peningkatan aspek keamanan. Menurutnya, mayoritas dana yakni sekitar Rp 6,25 triliun akan digunakan untuk pengembangan bandar udara. Sedangkan, sisanya akan digunakan untuk pengadaan alat keamanan penerbangan.

Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub Julius Adravida Barata menambahkan pemerintah juga telah menetapkan regulasi untuk melindungi maskapai dalam negeri saat penerapan ASEAN Open Sky mendatang. Kebijakan itu ialah pemerintah hanya membuka lima bandara utama Indonesia untuk penerbangan langsung maskapai asing. Sementara, untuk perjalanan di dalam negeri hanya \boleh menggunakan pesawat Indonesia. "Lima bandara itu adalah Kuala Namu di Medan, Soekarno-Hatta di Banten, Juanda di Surabaya, Ngurah Rai di Bali, dan Hassanudin di Makassar," ujarnya saat dihubungi merdeka.com di Jakarta, Jumat (31/10).

Kebijakan ASEAN Open Sky disepakati oleh negara-negara di ASEAN untuk penerbangan antarkota di negara berbeda. Kesepakatan yang ditandatangani pada 2003 ini dimulai secara bertahap pada 2013 dan berlaku penuh 2015.
Pada pasar bebas ASEAN mendatang juga mendatangkan untung untuk industri penerbangan. Pasalnya, pertumbuhan konsumen moda transportasi ini bakal semakin melejit karena banyaknya turis asing masuk Indonesia.

Analisa Kasus:
Kebutuhan akan transportasi udara di Indonesia semakin meningkat karena semua kalangan sudah dapat menjangkau harganya. Kebutuhan itu juga kian akan meningkat pada saat Indonesia mengahadapi pasar bebas ASEAN (MEA) pada tahun depan. Tercatat pertumbuhan penumpang transportasi udara di Indonesia rata-rata dari 2009 sampai 2012 sebesar 18,31 persen. Pada 2013 lalu, penerbangan Indonesia telah mengangkut lebih dari 85 juta penumpang ke berbagai daerah. Oleh sebab itu, pemerintah didorong peran aktifnya dalam mendukung industri yang semakin meningkat ini.

Pelaku industri penerbangan sendiri mendesak pemerintah segera berbenah. Desakan tersebut merupakan desakan dari salah satu maskapai penerbangan anak usaha Garuda Indonesia yaitu, Citilink. Maskapai penerbangan murah ini berharap agar pemerintah dapat menciptakan iklim usaha yang nyaman untuk berkompetisi di Tanah Air. Direktur Utama Citilink, Arief Wibowo, menilai pengembangan industri penerbangan nasional masih terkendala sejumlah masalah. Dia mencontohkan permasalahan itu ialah biaya bahan bakar pesawat di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara di ASEAN. 

Pada tahun lalu, harga avtur di Singapura ternilai USD 71 sen per liter. Berbeda  dengan Jakarta harganya sekitar USD 78 sen per liter. Bahkan, di Papua bisa mencapai USD 103 sen per liter. Harga tersebut merupakan sesuatu yang membebani kita dalam rangka open sky. Permasalahan kedua adalah beban bea masuk komponen pesawat. Kurang memadainya produksi komponen pesawat lokal membuat produk impor sangat dibutuhkan. Permasalahan lainnya ialah keterbatasan infrastruktur. Kebutuhan ini sangat pentingnya peran pemerintah.

Sementara itu, pemerintah sendiri melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya mengonversi avtur menjadi bahan bakar bersumber nabati atau bioavtur. Bahan bakar ini dinilai lebih murah. Saat ini Indonesia memiliki potensi bahan bakar nabati terbesar kedua setelah Brasil. Pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar minyak akan dapat mengurangi konsumsi energi fosil, meningkatkan ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Sejauh ini pemerintah menargetkan dapat menggunakan bioavtur pada 2016 yakni sebesar 2 persen dari total kebutuhan avtur PT Pertamina.

Berhubungan dengan masalah infrastruktur, Plt Direktur Jenderal Perhubungan Udara Santoso Eddy Wibowo mengatakan pemerintah menganggarkan dana sekitar Rp 9 triliun untuk pengembangan industri penerbangan tahun depan. Anggaran tersebut direncanakan dialokasikan untuk pengembangan bandar udara dan peningkatan aspek keamanan. Menurut Eddy mayoritas dana yakni sekitar Rp 6,25 triliun akan digunakan untuk pengembangan bandar udara. Sedangkan, sisanya akan digunakan untuk pengadaan alat keamanan penerbangan.

Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub Julius Adravida Barata menambahkan pemerintah juga telah menetapkan regulasi untuk melindungi maskapai dalam negeri saat penerapan ASEAN Open Sky mendatang. Kebijakan yang dilakukan pemerintah ialah hanya membuka lima bandara utama Indonesia untuk penerbangan langsung maskapai asing. Sedangkan perjalanan di dalam negeri hanya boleh menggunakan pesawat Indonesia. Kelima bandara tersebut adalah Kuala Namu di Medan, Soekarno-Hatta di Banten, Juanda di Surabaya, Ngurah Rai di Bali, dan Hassanudin di Makassar.

Kebijakan ASEAN Open Sky disepakati oleh negara-negara di ASEAN untuk penerbangan antar kota di negara berbeda. Kesepakatan ini ditandatangani pada tahun 2003 dan dimulai secara bertahap pada 2013 dan berlaku penuh 2015. Pada pasar bebas ASEAN mendatang akan mendatangkan untung pada industri penerbangan. Pasalnya, pertumbuhan konsumen pada transportasi udara inibakan  semakin meningkat karena banyaknya turis asing masuk Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar