Merdeka.com - Geliat industri penerbangan kekinian sudah sangat pesat. Pasalnya,
moda transportasi udara sudah bukan lagi angkutan mewah karena semua kalangan
sudah bisa menjangkaunya. Implikasinya tentu kebutuhan akan jasa penerbangan
ini semakin tinggi. Belum lagi, pada tahun depan, Indonesia bersiap menyambut
pasar bebas ASEAN (MEA).
Tercatat pertumbuhan penumpang angkutan
udara di Indonesia secara rata-rata dari 2009 hingga 2012 sebesar 18,31 persen.
Pada 2013 lalu, penerbangan Indonesia telah mengangkut lebih dari 85 juta
penumpang ke berbagai daerah. Maka dari itu, pemerintah didorong peran aktifnya
dalam mendukung industri yang tengah seksi ini.
Pelaku industri penerbangan sendiri
mendesak pemerintah segera berbenah. Desakan datang salah satunya maskapai
penerbangan anak usaha Garuda Indonesia, Citilink. Maskapai penerbangan murah tersebut berharap pemerintah
dapat menciptakan iklim usaha yang nyaman untuk berkompetisi di Tanah Air. Direktur
Utama Citilink, Arief Wibowo, menilai pengembangan industri penerbangan
nasional masih terkendala sejumlah masalah. Dia mencontohkan permasalahan itu
ialah biaya bahan bakar pesawat di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara di ASEAN.
Tahun lalu, lanjutnya, harga avtur di
Singapura tercatat USD 71 sen per liter. Sementara, di Jakarta harganya sekitar
USD 78 sen per liter. Bahkan, di Papua bisa mencapai USD 103 sen per liter. "Itu
sesuatu yang membebani kita dalam rangka open sky," ujarnya. Permasalahan
kedua ialah beban bea masuk komponen pesawat. Belum masifnya produksi komponen pesawat lokal membuat produk
impor sangat dibutuhkan. Permasalahan lainnya ialah keterbatasan infrastruktur.
"Infrastruktur itu harus ada peran pemerintah di sana," tuturnya.
Pemerintah sendiri melalui Kementerian
Perhubungan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya
mengonversi avtur menjadi bahan bakar bersumber nabati atau bioavtur. Bahan bakar
ini dinilai lebih murah. Saat ini Indonesia memiliki potensi bahan bakar nabati
terbesar kedua setelah Brasil. Pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai pengganti
bahan bakar minyak akan dapat mengurangi konsumsi energi fosil, meningkatkan
ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Sejauh ini
pemerintah menargetkan dapat menggunakan bioavtur pada 2016 yakni sebesar 2
persen dari total kebutuhan avtur PT Pertamina.
Sementara, terkait masalah
infrastruktur, Plt Direktur Jenderal Perhubungan Udara Santoso Eddy Wibowo
mengatakan pemerintah menganggarkan dana sekitar Rp 9 triliun untuk
pengembangan industri penerbangan tahun depan. Anggaran tersebut rencananya
akan dialokasikan untuk pengembangan bandar udara dan peningkatan aspek
keamanan. Menurutnya, mayoritas dana yakni sekitar Rp 6,25 triliun akan
digunakan untuk pengembangan bandar udara. Sedangkan, sisanya akan digunakan
untuk pengadaan alat keamanan penerbangan.
Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub Julius
Adravida Barata menambahkan pemerintah juga telah menetapkan regulasi untuk
melindungi maskapai dalam negeri saat penerapan ASEAN Open Sky mendatang. Kebijakan
itu ialah pemerintah hanya membuka lima bandara utama Indonesia untuk
penerbangan langsung maskapai asing. Sementara, untuk perjalanan di dalam
negeri hanya \boleh menggunakan pesawat Indonesia. "Lima bandara itu
adalah Kuala Namu di Medan, Soekarno-Hatta di Banten, Juanda di Surabaya,
Ngurah Rai di Bali, dan Hassanudin di Makassar," ujarnya saat dihubungi merdeka.com di
Jakarta, Jumat (31/10).
Kebijakan ASEAN Open Sky disepakati
oleh negara-negara di ASEAN untuk penerbangan antarkota di negara berbeda.
Kesepakatan yang ditandatangani pada 2003 ini dimulai secara bertahap pada 2013
dan berlaku penuh 2015.
Pada
pasar bebas ASEAN mendatang juga mendatangkan untung untuk industri
penerbangan. Pasalnya, pertumbuhan konsumen moda transportasi ini bakal semakin
melejit karena banyaknya turis asing masuk Indonesia.
Analisa
Kasus:
Kebutuhan akan transportasi udara di Indonesia semakin
meningkat karena semua kalangan sudah dapat menjangkau harganya. Kebutuhan itu
juga kian akan meningkat pada saat Indonesia mengahadapi pasar bebas ASEAN
(MEA) pada tahun depan. Tercatat pertumbuhan penumpang transportasi udara di
Indonesia rata-rata dari 2009 sampai 2012 sebesar 18,31 persen. Pada 2013 lalu,
penerbangan Indonesia telah mengangkut lebih dari 85 juta penumpang ke berbagai
daerah. Oleh sebab itu, pemerintah didorong peran aktifnya dalam mendukung industri
yang semakin meningkat ini.
Pelaku industri penerbangan sendiri mendesak pemerintah segera
berbenah. Desakan tersebut merupakan desakan dari salah satu maskapai penerbangan
anak usaha Garuda Indonesia yaitu, Citilink. Maskapai penerbangan murah ini berharap agar pemerintah
dapat menciptakan iklim usaha yang nyaman untuk berkompetisi di Tanah Air. Direktur
Utama Citilink, Arief Wibowo, menilai pengembangan industri penerbangan
nasional masih terkendala sejumlah masalah. Dia mencontohkan permasalahan itu
ialah biaya bahan bakar pesawat di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara di ASEAN.
Pada tahun lalu, harga avtur di Singapura ternilai USD 71
sen per liter. Berbeda dengan Jakarta
harganya sekitar USD 78 sen per liter. Bahkan, di Papua bisa mencapai USD 103
sen per liter. Harga tersebut merupakan sesuatu yang membebani kita dalam
rangka open sky. Permasalahan kedua adalah beban bea masuk komponen pesawat. Kurang memadainya produksi komponen pesawat lokal membuat produk
impor sangat dibutuhkan. Permasalahan lainnya ialah keterbatasan infrastruktur.
Kebutuhan ini sangat pentingnya peran pemerintah.
Sementara itu, pemerintah sendiri melalui Kementerian
Perhubungan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya
mengonversi avtur menjadi bahan bakar bersumber nabati atau bioavtur. Bahan bakar
ini dinilai lebih murah. Saat ini Indonesia memiliki potensi bahan bakar nabati
terbesar kedua setelah Brasil. Pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai pengganti
bahan bakar minyak akan dapat mengurangi konsumsi energi fosil, meningkatkan
ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Sejauh ini
pemerintah menargetkan dapat menggunakan bioavtur pada 2016 yakni sebesar 2
persen dari total kebutuhan avtur PT Pertamina.
Berhubungan dengan masalah infrastruktur, Plt Direktur
Jenderal Perhubungan Udara Santoso Eddy Wibowo mengatakan pemerintah
menganggarkan dana sekitar Rp 9 triliun untuk pengembangan industri penerbangan
tahun depan. Anggaran tersebut direncanakan dialokasikan untuk pengembangan
bandar udara dan peningkatan aspek keamanan. Menurut Eddy mayoritas dana yakni
sekitar Rp 6,25 triliun akan digunakan untuk pengembangan bandar udara.
Sedangkan, sisanya akan digunakan untuk pengadaan alat keamanan penerbangan.
Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub Julius Adravida Barata
menambahkan pemerintah juga telah menetapkan regulasi untuk melindungi maskapai
dalam negeri saat penerapan ASEAN Open Sky mendatang. Kebijakan yang dilakukan
pemerintah ialah hanya membuka lima bandara utama Indonesia untuk penerbangan
langsung maskapai asing. Sedangkan perjalanan di dalam negeri hanya boleh menggunakan
pesawat Indonesia. Kelima bandara tersebut adalah Kuala Namu di Medan,
Soekarno-Hatta di Banten, Juanda di Surabaya, Ngurah Rai di Bali, dan Hassanudin
di Makassar.
Kebijakan ASEAN Open Sky disepakati oleh negara-negara di
ASEAN untuk penerbangan antar kota di negara berbeda. Kesepakatan ini ditandatangani
pada tahun 2003 dan dimulai secara bertahap pada 2013 dan berlaku penuh 2015. Pada
pasar bebas ASEAN mendatang akan mendatangkan untung pada industri penerbangan.
Pasalnya, pertumbuhan konsumen pada transportasi udara inibakan semakin meningkat karena banyaknya turis asing
masuk Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar